Ingat Waktu !!
Monday, April 4, 2011
Perakitan Varietas Jagung Hibrida
Perakitan Varietas Jagung Hibrida
Daftar Isi
Pendahuluan ............................................................................................................ 1
Pemuliaan Jagung Hibrida ...................................................................................... 2
Pembentukan Galur Murni.................................................................................. 2
Pembentukan Hibrida.......................................................................................... 3
Hibrida Silang Tunggal (Single Cross Hybrids) ............................................. 4
Hibrida Silang Tunggal yang Dimodifikasi (Modified Single Cross Hybrid) 4
Hibrida Silang Tiga (Three-Way Cross Hybrid)............................................. 5
Hibrida Silang Ganda (Double Cross Hybrid)................................................ 5
Hibrida Lainnya .............................................................................................. 5
Daya Gabung Galur Murni ................................................................................. 6
Heterosis.............................................................................................................. 6
Penggunaan Mandul Jantan dalam Produksi Benih Hibrida................................... 9
Mandul Jantan Sitoplasmik (cms)....................................................................... 9
Pemeliharaan Galur Murni A-cms .................................................................. 9
Silang Tunggal, AxB....................................................................................... 9
Silang Tunggal yang Dimodifikasi atau Silang Tiga .................................... 10
Silang Ganda, (A x B) x (C x D)................................................................... 11
Mandul Jantan Genetik ..................................................................................... 11
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 12
1
Pendahuluan
Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat
pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi,
mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan irigasi. Jagung
merupakan bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan
pelestarian swasembada pangan. Disamping itu, jagung juga merupakan bahan
pakan, bahan ekspor nonmigas dan bahan baku industri (Subandi et al., 1998).
Varietas jagung hibrida telah terbukti memberikan hasil yang lebih baik
dari varietas jagung bersari bebas. Secara umum, varietas hibrida lebih seragam
dan mampu berproduksi lebih tinggi 15 - 20% dari varietas bersari bebas (Morris,
1995). Selain itu, varietas hibrida menghasilkan biji yang lebih besar
dibandingkan varietas bersari bebas (Wong, 1991).
Jagung hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan dua atau lebih
galur murni (Singh, 1987) dan memiliki perbedaan keragaman antar varietas,
tergantung dari tipe hibridisasi dan stabilitas galur murni (Agrawal, 1997).
Komersialisasi jagung hibrida sudah dimulai sejak tahun 1930, namun penanaman
jagung hibrida secara luas (ekstensif) di Asia baru dimulai pada tahun 1950-1960.
Di sebagian besar negara berkembang, 61% dari lahan pertananaman jagung
masih ditanami varietas bersari bebas (CIMMYT, 1990). Hal ini dimungkinkan
karena varietas bersari bebas lebih mampu beradaptasi pada kondisi lahan
marginal (Pallival dan Sprague, 1981).
Meskipun demikian, varietas jagung hibrida telah memberikan hasil yang
memuaskan di sebagian negara-negara berkembang, terutama di negara-negara
yang sudah memiliki industri benih swasta. Varietas hibrida memiliki keunggulan
dibandingkan dengan varietas bersari bebas, diantaranya mampu berproduksi
lebih tinggi 15 - 20% dan memiliki karakteristik baru yang diinginkan seperti
ketahanan terhadap penyakit. Selain itu, penampilan varietas hibrida lebih
seragam (Morris, 1995), dimana varietas bersari bebas pada umumnya memiliki
keragaman yang tinggi pada karakteristik tongkol dan biji (Agrawal, 1997).
2
Pemuliaan Jagung Hibrida
Menurut Singh (1987) program pemuliaan jagung hibrida pada dasarnya
terdiri dari empat tahap, yaitu :
1. Pembentukan galur-galur murni yang stabil, vigor, serta berdaya hasil benih
tinggi.
2. Pengujian daya gabung dan penampilan per se dari galur-galur murni
tersebut.
3. Penggunaan galur-galur murni terpilih dalam pembentukan hibrida yang lebih
produktif.
4. Perbaikan daya hasil serta ketahanan terhadap hama dan penyakit.
Pembentukan Galur Murni
Galur murni dihasilkan dari penyerbukan sendiri hingga diperoleh
tanaman yang homozigot. Hal ini umumnya memerlukan waktu lima hingga
tujuh generasi penyerbukan sendiri yang terkontrol. Pada awalnya, galur murni
dibentuk dari varietas menyerbuk terbuka (open pollinated varieties) tetapi
belakangan ini, galur murni dibentuk dari banyak sumber yang lain seperti seperti
varietas sintetik, varietas komposit, atau populasi generasi lanjut dari hibrida
(Singh, 1987). Dalam membentuk galur murni baru, seorang pemulia mulai
dengan individu tanaman yang heterozigot. Dengan penyerbukan sendiri, terjadi
segregasi dan penurunan vigor. Tambahan penurunan vigor akan terlihat pada
tiap generasi penyerbukan sendiri hingga galur homozigot terbentuk. Sekitar
setengah dari total penurunan vigor terjadi pada generasi pertama penyerbukan
sendiri, kemudian menjadi setengahnya pada generasi berikutnya. Selain
mengalami penurunan vigor, individu tanaman yang diserbuk sendiri
menampakkan berbagai kekurangan seperti: tanaman bertambah pendek,
cenderung rebah, peka terhadap penyakit, dan bermacam-macam karakter lain
yang tidak diinginkan. Munculnya fenomena-fenomena tersebut dikenal dengan
istilah depresi tangkar dalam atau inbreeding depression (Poehlman, 1983).
3
Depresi tangkar dalam dalam terjadi akibat peningkatan homozigositas
dari gen-gen resesif yang bersifat menghambat (Poehlman 1983; Jones dan
Bingham, 1995). Tanaman jagung generasi S1, tekanan silang dalam terhadap
tinggi tanaman (10.4%) lebih rendah dari tekanan silang dalam terhadap hasil
(32.9%) (Jones dan Bingham, 1995). Tanaman yang tidak diinginkan dibuang
dan tanaman-tanaman yang paling vigor dipelihara dan diserbuk sendiri pada
generasi-generasi berikutnya. Perbedaan yang nyata diantara galur semakin
tampak sejalan dengan semakin lanjutnya generasi penyerbukan sendiri. Setelah
lima hingga tujuh generasi penyerbukan sendiri, penampilan tanaman di dalam
satu galur menjadi lebih seragam. Tiap galur murni memiliki kombinasi gen-gen
yang spesifik.
Tujuan penyerbukan sendiri adalah untuk mengatur karakter-karakter yang
diinginkan dalam kondisi homozigot sehingga genotipe tersebut dapat dipelihara
tanpa perubahan genetik. Vigor yang hilang selama periode penyerbukan sendiri
diperoleh kembali pada progeni F1 ketika galur murni tersebut disilangkan dengan
galur murni lain yang tidak berhubungan. Selama proses penyerbukan sendiri,
banyak gen-gen resesif yang tidak diinginkan menjadi homozigot dan
menampakkan fenotipenya. Karakteristik yang diinginkan dari galur murni,
seperti batang yang kuat dan ketahanan terhadap penyakit, diwariskan kepada
progeni hibrida ketika galur-galur murni tersebut disilangkan. Tanaman asal
dinamakan S0, dan progeni penyerbukan sendiri dari tanaman tersebut dinamakan
S1 (progeni penyerbukan sendiri generasi pertama). Progeni penyerbukan sendiri
generasi kedua dinamakan S2, dan seterusnya (Poehlman, 1983)
Pembentukan Hibrida
Tiga tipe hibrida sudah digunakan secara komersial, yaitu hibrida silang
tunggal (single cross hybrid), hibrida silang ganda (double cross hybrid), dan
hibrida silang tiga (three-way cross hybrid) (Sprague dan Dudley, 1988). Setiap
tipe hibrida memiliki konstitusi genetik yang berbeda.
4
Hibrida Silang Tunggal (Single Cross Hybrids)
Hibrida silang tunggal adalah hibrida dari persilangan antara dua galur
murni yang tidak berhubungan satu sama lain. Galur-galur murni yang digunakan
dalam silang tunggal diasumsikan telah homozigot. Oleh karena itu, tanaman
hibrida silang tunggal bersifat heterozigot pada semua lokus dimana kedua galur
murni berbeda. Silang tunggal yang superior mendapatkan kembali vigor dan
produktivitas yang hilang saat penyerbukan sendiri dan akan lebih vigor dan
produktif dibandingkan dengan tetuanya. Tidak semua kombianasi galur murni
akan menghasilkan silang tunggal yang superior. Pada kenyataannya, agak jarang
kombinasi galur murni yang menghasilkan silang tunggal dengan hasil yang
superior. Kombinasi galur murni harus diuji daya gabungnya untuk menemukan
kombinasi mana yang akan berguna untuk produksi benih hibrida (Poehlman,
1983).
Disamping memiliki hasil yang tinggi, hibrida silang tunggal lebih
seragam dan produksi benihnya relatif lebih mudah dibandingkan dengan hibrida
silang tiga dan silang ganda (Singh, 1987). Namun demikian, bahwa hibrida
silang tunggal memiliki stabilitas penampilan yang lebih rendah dibandingkan
dengan hibrida silang ganda (Sprague dan Dudley, 1988).
Hibrida Silang Tunggal yang Dimodifikasi (Modified Single Cross Hybrid)
Hibrida silang tunggal yang dimodifikasi adalah hibrida dari sebuah silang
tiga yang menggunakan progeni dari dua galur murni yang berhubungan sebagai
tetua betina dan satu galur murni yang tidak berhubungan sebagai tetua jantan.
Dua galur murni yang berhubungan (A_ dan A__) mempunyai kemiripan genetik
mengenai tipe tanaman sehingga terdapat segregasi minimal untuk karakteristik
tanaman yang dikenali pada progreni hibrida (A_A__). Karena progeni tersebut
menghasilkan benih lebih banyak dibandingkan galur A_ atau A__, maka progeni
tersebut digunakan sebagai tetua betina pada silang tunggal yang dimodifikasi.
Galur murni yang tidak berhubungan digunakan sebagai tetua jantan. Penampilan
silang tunggal yang dimodifikasi pada lahan petani memiliki kemiripan dengan
silang tunggal.
5
Hibrida Silang Tiga (Three-Way Cross Hybrid)
Hibrida silang tiga adalah hibrida dari persilangan antara silang tunggal
dengan satu galur murni. Silang tiga berbeda dengan modifikasi silang tunggal,
dimana ketiga galur murni tidak berhubungan sehingga lebih berbeda secara
genetik dan penampilannya lebih beragam. Langkah-langkah produksi silang tiga
sama dengan silang tunggal yang dimodifikasi. Hibrida silang tiga yang
dihasilkan dari galur murni A, B, dan C dapat ditulis sebagai (A x B) x C.
Hibrida Silang Ganda (Double Cross Hybrid)
Hibrida silang ganda adalah progeni hibrida dari persilangan antara dua
silang tunggal. Silang ganda melibatkan empat galur murni yang tidak
berhubungan satu sama lain. Pasangan galur murni disilangkan sehingga
membentuk dua silang tunggal, kemudian disilangkan untuk menghasilkan silang
ganda. Benih silang ganda dihasilkan dari tanaman silang tunggal yang telah
diserbuki oleh silang tunggal kedua. Hibrida silang ganda yang dihasilkan dari
galur murni A, B, C, dan D dapat ditulis sebagai (A x B) x (C x D).
Hibrida Lainnya
Dua kombinasi persilangan yang lain adalah top cross dan multiple cross.
Top cross adalah progeni hibrida yang dihasilkan melalui penyerbukan suatu galur
murni dengan suatu populasi yang menghasilkan pollen yang tercampur secara
genetik. Top cross pada awalnya dihasilkan melalui penyerbukan satu galur
murni dengan varietas menyerbuk terbuka, dan kadang-kadang disebut
persilangan galur murni - varietas (inbred-variety cross). Saat ini, silang tunggal
lebih umum digunakan sebagai tetua jantan dalam top cross. Multiple cross dapat
merupakan hasil dari kombinasi persilangan yang menggunakan lebih dari empat
galur murni (Poehlman, 1983).
6
Daya Gabung Galur Murni
Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung
galur murni. Pada awalnya, daya gabung merupakan konsep umum untuk
mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya
(Hallauer dan Miranda, 1988).
Daya gabung umum merupakan penampilan rata-rata galur murni dalam
berbagai kombinasi hibrida, sedangkan daya gabung khusus menunjukkan
penampilan galur murni dalam suatu kombinasi hibrida dibandingkan dengan
kombinasi lainnya (Sprague dan Tatum, 1942). Daya gabung umum mengukur
penampilan hibrida dari suatu genotipe (galur murni) dibandingkan dengan
sampel acak atau genotipe yang banyak, sedangkan daya gabung khusus
mengukur penampilan hibrida dari suatu genotipe (galur murni) dibandingkan
dengan genotipe (galur murni) lainnya (Stoskopf et al., 1993).
Daya gabung umum relatif lebih penting dari daya gabung khusus untuk
galur-galur murni yang belum diseleksi. Sebaliknya, daya gabung khusus lebih
penting dari daya gabung umum untuk galur-galur murni yang telah diseleksi
sebelumnya terhadap peningkatan hasil (Sprague dan Tatum, 1942). Pengujian
daya gabung dapat dilakukan dengan metode diallel cross, yakni evaluasi
terhadap seluruh kombinasi hibrida silang tunggal dari sejumlah galur murni
(Stoskopf et al., 1993).
Evaluasi hibrida silang tunggal dilakukan dengan menggunakan hibrida
komersial standar pada 4-6 lokasi atau lebih, dalam periode 2 tahun atau lebih
(Griffing dalam Singh, 1987). Data hasil pengujian tersebut dapat menjadi dasar
untuk memperkirakan hasil hibrida silang ganda dan silang tiga (Jenkins dalam
Singh, 1987).
Heterosis
Pemuliaan tanaman menyerbuk silang seperti jagung didasari oleh adanya
efek heterosis atau hibrid vigor (Mohr dan Schopfer, 1995). Heterosis dapat
didefinisikan sebagai peningkatan ukuran atau vigor hibrida di atas rata-rata kedua
tetuanya (Poehlman, 1983). Untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi,
7
galur murni perlu dibentuk dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara
genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil
persilangan (Singh, 1987). Keturunan hasil persilangan dua galur murni akan
menampakkan peningkatan vigor melampaui galur-galur tetuanya. Akan tetapi,
pada umumnya dari ribuan galur murni yang diuji hanya sedikit sekali yang
menampakkan heterosis yang menguntungkan secara ekonomis (Allard, 1960).
Heterosis dihasilkan dari pembawaan bersama gen-gen dominan yang
baik. Berdasarkan teori ini, gen-gen yang mengendalikan vigor dan pertumbuhan
adalah dominan, dan gen yang berbahaya terhadap individu adalah resesif. Gengen
dominan yang berasal dari salah satu tetua dapat berkomplementasi dengan
gen dominan yang berasal dari tetua lainnya, sehingga F1 akan memiliki
kombinasi yang gen dominan yang lebih baik dibandingkan dengan tetuanya.
Dalam produksi jagung hibrida, teori ini bekerja sebagai berikut: Diasumsikan
bahwa gen dominan ABCDE mengendalikan hasil yang tinggi. Galur murni A
memiliki genotipe AABBccddEE (ABE dominan). Inbred B memiliki genotipe
aabbCCDDEE (CDE dominan). Genotipe galur murni A dan B, dan genotipe
hibrida F1, adalah sebagai berikut:
Galur murni A Galur murni B
AABBccddEE x aabbCCDDEE
Hibrida F1
AaBbCcDdEE
Pada contoh ini, hibrida F1 memiliki gen dominan pada kelima lokus
(ABCDE) dan akan memperlihatkan vigor yang lebih baik dibandingkan dengan
tetua galur murninya yang hanya memiliki gen-gen dominan pada tiga lokus saja.
Dalam teori yang menjelaskan tentang hibrid vigor ini, pertanyaan yang timbul
adalah mengapa gen-gen dominan yang baik tidak dapat terkonsentrasi pada suatu
galur murni dalam kondisi homozigot sehingga galur murni tersebut dapat sama
produktifnya dengan galur tetuanya. Meskipun demikian, terlihat bahwa jumlah
gen yang terlibat dalam suatu karakter kuantitatif seperti vigor adalah sangat
8
banyak sehingga sulit ditemukan pada keadaan homozigot pada individu tanaman.
Selain itu, tanaman menyerbuk silang seperti jagung memiliki alel resesif yang
tidak diinginkan. Dengan penyerbukan silang, efek gen resesif yang tidak
diinginkan dapat tertutupi oleh keberadaan alel dominannya. Dengan
penyerbukan sendiri, banyak gen-gen resesif yang tidak diinginkan menjadi
homozigot dan mengakibatkan berkurangnya vigor galur murni. Keterpautan gengen
resesif yang tidak diinginkan dengan gen-gen dominan menyebabkan
penghalangan lebih jauh dan mengurangi peluang untuk menemukan galur-galur
homozigot yang sama vigornya dengan galur-galur tetuanya.
Teori lain menjelaskan heterosis berdasarkan heterozigositas lebih superior
dibandingkan homozigositas, individu yang paling vigor memiliki jumlah alel
heterozigot yang paling banyak. Teori ini didasarkan pada pendugaan adanya
alel-alel yang kontras, contohnya a1 dan a2, untuk lokus tunggal. Setiap alel
menghasilkan efek yang diinginkan, dan berbeda, pada tanaman. Pada tanaman
heterozigot (a1a2), dihasilkan kombinasi efek yang lebih baik dibandingkan
dengan efek yang dihasilkan oleh masing-masing alel. Fenomena bahwa
heterozigot (a1a2) lebih superior dibandingkan homozigot (a2a2) dinamakan
overdominan (Poehlman, 1983)
Dalam prakteknya, fenomena heterosis terlihat pada hasil penelitian Saleh
et al. (1994), yang menunjukkan bahwa suatu kombinasi hibrida single cross
memiliki tingkat heterosis berdasarkan nilai tengah tetua sebesar 436%.
Disamping itu, hasil penelitian Vasal dan Gonzales (1999) menjelaskan bahwa
hibrida non-konvensional antar famili memiliki rataan nilai heterosis berdasarkan
nilai tengah tetua untuk peubah hasil sebesar 47.9%, sedangkan pada hibrida
topcross silang ganda sebesar 25.4%.
9
Penggunaan Mandul Jantan dalam Produksi
Benih Hibrida
Mandul Jantan Sitoplasmik (cms)
Prosedur penggunaan sistem mandul jantan sitoplasmik dan pemulih
kesuburan dalam produksi benih hibrida akan berbeda sesuai dengan tipe
persilangan yang dilakukan. Untuk menyederhanakan, pada model-model berikut
diasumsikan galur murni yang digunakan dalam pembentukan hibrida memiliki
sitoplasma steril (cms) atau normal (n), dengan pemulih kesuburan oleh gen
dominan Rf, yang memberikan pemulihan sempurna pada tanaman jagung cms.
Pemeliharaan Galur Murni A-cms
A-cms x A-n
rfrf rfrf
mandul jantan fertil jantan
A-cms
rfrf
mandul jantan
Galur murni mandul jantan, A-cms, dipelihara melalui penyerbukan dari
galur murni A yang memiliki sitoplasma normal. Tidak ada galur murni yang
memiliki gen pemulih dominan. Progeni akan mandul jantan karena sitoplasma
diwariskan oleh tetua betina.
Silang Tunggal, AxB
A-cms x B-n (atau cms)
rfrf RfRf
mandul jantan fertil jantan
AB-cms
Rfrf
fertil jantan
10
Galur murni yang menghasilkan benih, A-cms, bersifat mandul jantan.
Galur murni yang menghasilkan pollen, B, dapat memiliki sitoplasma normal atau
cms dan memiliki gen pemulih kesuburan (Rf). Silang tunggal, AB-cms, akan
memiliki gen pemulih kesuburan yang heterozigot dan akan menghasilkan pollen
normal.
Silang Tunggal yang Dimodifikasi atau Silang Tiga
A_-cms x A__-n
rfrf rfrf
mandul jantan fertil jantan
A_A__-cms x B-n (atau cms)
rfrf RfRf
mandul jantan fertil jantan
A_A__B-cms
Rfrf
fertil jantan
Galur murni A_cms bersifat mandul jantan. Inbred A__ akan memiliki
sitoplasma normal dan gen-gen yang tidak memulihkan. Silang tunggal A_A_
akan bersifat mandul jantan. Galur murni B dapat memiliki sitoplasma normal
atau steril dan gen-gen pemulih dominan. Silang tunggal yang dimodifikasi,
A_A__B, akan memiliki sitoplasma steril tetapi akan bersifat fertil jantan. Silang
tiga dibuat dengan metode yang identik, kecuali galur murni B menggantikan A__
dan galur murni C menggantikan B pada diagram di atas.
11
Silang Ganda, (A x B) x (C x D)
A-cms x B-n C-n x D-n (atau cms)
rfrf rfrf rfrf RfRf
mandul jantan fertil jantan fertil jantan fertil jantan
AB-cms x CD-n (atau cms)
rfrf Rfrf
mandul jantan fertil jantan
ABCD-cms
50% Rfrf (fertil jantan)
50% rfrf (mandul jantan)
Hanya 50% tanaman silang ganda ABCD yang ditanam oleh petani akan
bersifat fertil jantan, tetapi kondisi ini diperkirakan dapat menyediakan cukup
pollen untuk pembuahan. Beberapa alternatif lain juga tersedia. Galur murni C
atau D, atau keduanya, dapat membawa gen-gen pemulih kesuburan. Jika
keduanya membawa gen-gen pemulih kesuburan, hibrida silang ganda akan 100%
fertil jantan. Selain itu, galur murni C atau D, atau keduanya, boleh memiliki
sitoplasma steril jika memiliki gen-gen pemulih kesuburan (Poehlman, 1983).
Mandul Jantan Genetik
Mandul jantan genetik pada jagung telah banyak dilaporkan. Percobaan
untuk menggunakan mandul jantan genetik dalam produksi benih hibrida
dihalangi oleh ketidakmampuan memelihara galur mandul jantan yang dapat
digunakan sebagai tetua betina. Satu sistem yang telah digunakan didasarkan
pada penggunaan kromosom yang dimodifikasi, yang dikenal sebagai duplicatedeficient,
yang tidak diwariskan melalui pollen, untuk membuat stok msms murni.
Sistem ini telah dipatenkan. Penggunaan sistem ini dalam produksi benih hibrida
komersial memerlukan evaluasi tambahan (Poehlman, 1983).
12
Daftar Pustaka
Agrawal, R.L. 1997. Identifying Characteristics of Crop Varieties. Science
Publishers, Inc. New Hampsire. 124p.
Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Willey and Sons. New
York. 485p.
CIMMYT. 1990. 1987/1998 CIMMYT world maize fact and trends. Maize seed
industries, revisited. Emerging roles of public and private sectors.
CIMMYT. Mexico.
Hallauer, A. R. and J. B. Miranda. 1988. Quantitative Genetics in Maize
Breeding. Second edition. Iowa State University Press. Iowa.
Jones, J. S. and E. T. Bingham. 1995. Inbreeding depression in alfalfa and cross
pollinated crops. p. 209-229. In: Janick, J. (ed). Plant Breeding Reviews.
Volume 13. John Wiley & Sons, Inc.
Mohr, H. and P. Schopfer. 1995. Plant Physiology. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. New York. 629p.
Morris, M. 1995. Asia_s public and private maize seed industries changing.
Asian Seed. 2 : 3-4.
Pallival, S. and G. F. Sprague. 1981. Improving adaptation and yield
dependability in maize in the developing world. CIMMYT. Mexico.
Poehlman, J. M. 1983. Breeding Field Crops. Second ed. The Avi Publishing
Company, Inc. Westport. 486p.
Saleh, G., S. Sujiprihati, and T. C. Yap. 1994. Performance of maize hybrids
from locally-developed inbred lines. Proceeding of the 1st National
Congresss on Genetics, Malaysia. Genetics Society of Malaysia. p. 192-
195.
Singh, J. 1987. Field Manual of Maize Breeding Procedures. Food and
Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Sprague, G. F. and L. A. Tatum. 1942. General vs Specific Combining Ability in
Single Cross of Corn. J. Am. Soc. Agron. 32:923-32.
Sprague, G. F. and J.W. Dudley. 1988. Corn and Corn Improvement. Third
edition. Crop. Sci. Soc. Am., Inc., Soil Sci. Soc. Am., Inc. Wisconsin.
968p.
13
Stoskopf, N. C., D. T. Tomes, and B. R. Christie. 1993. Plant Breeding : Theory
and Practice. Westview Press. Colorado. 531p.
Subandi, M. Dahlan, dan A. Rifin. 1998. Hasil dan strategi penelitian jagung,
sorgum, dan terigu dalam pencapaian dan pelestarian swasembada pangan.
p. 347-357. Dalam: Inovasi Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Vasal, S. K. and F. Gonzales. 1999. Non-conventional maize hybrid and their
seed production. Training Course on Hybrid Technology and Seed
Production in Maize. Central Research Institute for Food Crops, Agency for
Agricultural Research & Development, International Maize & Wheat
Improvement Center. 16p.
Wong, C. C. 1991. Inbreeding depression after three generations of selfing in
five maize varieties. B. Agric. Sc. Project Report. Universiti Pertanian
Malaysia. Malaysia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment