Ingat Waktu !!

Monday, April 4, 2011

Perakitan Varietas Jagung Hibrida

Perakitan Varietas Jagung Hibrida Daftar Isi Pendahuluan ............................................................................................................ 1 Pemuliaan Jagung Hibrida ...................................................................................... 2 Pembentukan Galur Murni.................................................................................. 2 Pembentukan Hibrida.......................................................................................... 3 Hibrida Silang Tunggal (Single Cross Hybrids) ............................................. 4 Hibrida Silang Tunggal yang Dimodifikasi (Modified Single Cross Hybrid) 4 Hibrida Silang Tiga (Three-Way Cross Hybrid)............................................. 5 Hibrida Silang Ganda (Double Cross Hybrid)................................................ 5 Hibrida Lainnya .............................................................................................. 5 Daya Gabung Galur Murni ................................................................................. 6 Heterosis.............................................................................................................. 6 Penggunaan Mandul Jantan dalam Produksi Benih Hibrida................................... 9 Mandul Jantan Sitoplasmik (cms)....................................................................... 9 Pemeliharaan Galur Murni A-cms .................................................................. 9 Silang Tunggal, AxB....................................................................................... 9 Silang Tunggal yang Dimodifikasi atau Silang Tiga .................................... 10 Silang Ganda, (A x B) x (C x D)................................................................... 11 Mandul Jantan Genetik ..................................................................................... 11 Daftar Pustaka ....................................................................................................... 12 1 Pendahuluan Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi, mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan irigasi. Jagung merupakan bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. Disamping itu, jagung juga merupakan bahan pakan, bahan ekspor nonmigas dan bahan baku industri (Subandi et al., 1998). Varietas jagung hibrida telah terbukti memberikan hasil yang lebih baik dari varietas jagung bersari bebas. Secara umum, varietas hibrida lebih seragam dan mampu berproduksi lebih tinggi 15 - 20% dari varietas bersari bebas (Morris, 1995). Selain itu, varietas hibrida menghasilkan biji yang lebih besar dibandingkan varietas bersari bebas (Wong, 1991). Jagung hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan dua atau lebih galur murni (Singh, 1987) dan memiliki perbedaan keragaman antar varietas, tergantung dari tipe hibridisasi dan stabilitas galur murni (Agrawal, 1997). Komersialisasi jagung hibrida sudah dimulai sejak tahun 1930, namun penanaman jagung hibrida secara luas (ekstensif) di Asia baru dimulai pada tahun 1950-1960. Di sebagian besar negara berkembang, 61% dari lahan pertananaman jagung masih ditanami varietas bersari bebas (CIMMYT, 1990). Hal ini dimungkinkan karena varietas bersari bebas lebih mampu beradaptasi pada kondisi lahan marginal (Pallival dan Sprague, 1981). Meskipun demikian, varietas jagung hibrida telah memberikan hasil yang memuaskan di sebagian negara-negara berkembang, terutama di negara-negara yang sudah memiliki industri benih swasta. Varietas hibrida memiliki keunggulan dibandingkan dengan varietas bersari bebas, diantaranya mampu berproduksi lebih tinggi 15 - 20% dan memiliki karakteristik baru yang diinginkan seperti ketahanan terhadap penyakit. Selain itu, penampilan varietas hibrida lebih seragam (Morris, 1995), dimana varietas bersari bebas pada umumnya memiliki keragaman yang tinggi pada karakteristik tongkol dan biji (Agrawal, 1997). 2 Pemuliaan Jagung Hibrida Menurut Singh (1987) program pemuliaan jagung hibrida pada dasarnya terdiri dari empat tahap, yaitu : 1. Pembentukan galur-galur murni yang stabil, vigor, serta berdaya hasil benih tinggi. 2. Pengujian daya gabung dan penampilan per se dari galur-galur murni tersebut. 3. Penggunaan galur-galur murni terpilih dalam pembentukan hibrida yang lebih produktif. 4. Perbaikan daya hasil serta ketahanan terhadap hama dan penyakit. Pembentukan Galur Murni Galur murni dihasilkan dari penyerbukan sendiri hingga diperoleh tanaman yang homozigot. Hal ini umumnya memerlukan waktu lima hingga tujuh generasi penyerbukan sendiri yang terkontrol. Pada awalnya, galur murni dibentuk dari varietas menyerbuk terbuka (open pollinated varieties) tetapi belakangan ini, galur murni dibentuk dari banyak sumber yang lain seperti seperti varietas sintetik, varietas komposit, atau populasi generasi lanjut dari hibrida (Singh, 1987). Dalam membentuk galur murni baru, seorang pemulia mulai dengan individu tanaman yang heterozigot. Dengan penyerbukan sendiri, terjadi segregasi dan penurunan vigor. Tambahan penurunan vigor akan terlihat pada tiap generasi penyerbukan sendiri hingga galur homozigot terbentuk. Sekitar setengah dari total penurunan vigor terjadi pada generasi pertama penyerbukan sendiri, kemudian menjadi setengahnya pada generasi berikutnya. Selain mengalami penurunan vigor, individu tanaman yang diserbuk sendiri menampakkan berbagai kekurangan seperti: tanaman bertambah pendek, cenderung rebah, peka terhadap penyakit, dan bermacam-macam karakter lain yang tidak diinginkan. Munculnya fenomena-fenomena tersebut dikenal dengan istilah depresi tangkar dalam atau inbreeding depression (Poehlman, 1983). 3 Depresi tangkar dalam dalam terjadi akibat peningkatan homozigositas dari gen-gen resesif yang bersifat menghambat (Poehlman 1983; Jones dan Bingham, 1995). Tanaman jagung generasi S1, tekanan silang dalam terhadap tinggi tanaman (10.4%) lebih rendah dari tekanan silang dalam terhadap hasil (32.9%) (Jones dan Bingham, 1995). Tanaman yang tidak diinginkan dibuang dan tanaman-tanaman yang paling vigor dipelihara dan diserbuk sendiri pada generasi-generasi berikutnya. Perbedaan yang nyata diantara galur semakin tampak sejalan dengan semakin lanjutnya generasi penyerbukan sendiri. Setelah lima hingga tujuh generasi penyerbukan sendiri, penampilan tanaman di dalam satu galur menjadi lebih seragam. Tiap galur murni memiliki kombinasi gen-gen yang spesifik. Tujuan penyerbukan sendiri adalah untuk mengatur karakter-karakter yang diinginkan dalam kondisi homozigot sehingga genotipe tersebut dapat dipelihara tanpa perubahan genetik. Vigor yang hilang selama periode penyerbukan sendiri diperoleh kembali pada progeni F1 ketika galur murni tersebut disilangkan dengan galur murni lain yang tidak berhubungan. Selama proses penyerbukan sendiri, banyak gen-gen resesif yang tidak diinginkan menjadi homozigot dan menampakkan fenotipenya. Karakteristik yang diinginkan dari galur murni, seperti batang yang kuat dan ketahanan terhadap penyakit, diwariskan kepada progeni hibrida ketika galur-galur murni tersebut disilangkan. Tanaman asal dinamakan S0, dan progeni penyerbukan sendiri dari tanaman tersebut dinamakan S1 (progeni penyerbukan sendiri generasi pertama). Progeni penyerbukan sendiri generasi kedua dinamakan S2, dan seterusnya (Poehlman, 1983) Pembentukan Hibrida Tiga tipe hibrida sudah digunakan secara komersial, yaitu hibrida silang tunggal (single cross hybrid), hibrida silang ganda (double cross hybrid), dan hibrida silang tiga (three-way cross hybrid) (Sprague dan Dudley, 1988). Setiap tipe hibrida memiliki konstitusi genetik yang berbeda. 4 Hibrida Silang Tunggal (Single Cross Hybrids) Hibrida silang tunggal adalah hibrida dari persilangan antara dua galur murni yang tidak berhubungan satu sama lain. Galur-galur murni yang digunakan dalam silang tunggal diasumsikan telah homozigot. Oleh karena itu, tanaman hibrida silang tunggal bersifat heterozigot pada semua lokus dimana kedua galur murni berbeda. Silang tunggal yang superior mendapatkan kembali vigor dan produktivitas yang hilang saat penyerbukan sendiri dan akan lebih vigor dan produktif dibandingkan dengan tetuanya. Tidak semua kombianasi galur murni akan menghasilkan silang tunggal yang superior. Pada kenyataannya, agak jarang kombinasi galur murni yang menghasilkan silang tunggal dengan hasil yang superior. Kombinasi galur murni harus diuji daya gabungnya untuk menemukan kombinasi mana yang akan berguna untuk produksi benih hibrida (Poehlman, 1983). Disamping memiliki hasil yang tinggi, hibrida silang tunggal lebih seragam dan produksi benihnya relatif lebih mudah dibandingkan dengan hibrida silang tiga dan silang ganda (Singh, 1987). Namun demikian, bahwa hibrida silang tunggal memiliki stabilitas penampilan yang lebih rendah dibandingkan dengan hibrida silang ganda (Sprague dan Dudley, 1988). Hibrida Silang Tunggal yang Dimodifikasi (Modified Single Cross Hybrid) Hibrida silang tunggal yang dimodifikasi adalah hibrida dari sebuah silang tiga yang menggunakan progeni dari dua galur murni yang berhubungan sebagai tetua betina dan satu galur murni yang tidak berhubungan sebagai tetua jantan. Dua galur murni yang berhubungan (A_ dan A__) mempunyai kemiripan genetik mengenai tipe tanaman sehingga terdapat segregasi minimal untuk karakteristik tanaman yang dikenali pada progreni hibrida (A_A__). Karena progeni tersebut menghasilkan benih lebih banyak dibandingkan galur A_ atau A__, maka progeni tersebut digunakan sebagai tetua betina pada silang tunggal yang dimodifikasi. Galur murni yang tidak berhubungan digunakan sebagai tetua jantan. Penampilan silang tunggal yang dimodifikasi pada lahan petani memiliki kemiripan dengan silang tunggal. 5 Hibrida Silang Tiga (Three-Way Cross Hybrid) Hibrida silang tiga adalah hibrida dari persilangan antara silang tunggal dengan satu galur murni. Silang tiga berbeda dengan modifikasi silang tunggal, dimana ketiga galur murni tidak berhubungan sehingga lebih berbeda secara genetik dan penampilannya lebih beragam. Langkah-langkah produksi silang tiga sama dengan silang tunggal yang dimodifikasi. Hibrida silang tiga yang dihasilkan dari galur murni A, B, dan C dapat ditulis sebagai (A x B) x C. Hibrida Silang Ganda (Double Cross Hybrid) Hibrida silang ganda adalah progeni hibrida dari persilangan antara dua silang tunggal. Silang ganda melibatkan empat galur murni yang tidak berhubungan satu sama lain. Pasangan galur murni disilangkan sehingga membentuk dua silang tunggal, kemudian disilangkan untuk menghasilkan silang ganda. Benih silang ganda dihasilkan dari tanaman silang tunggal yang telah diserbuki oleh silang tunggal kedua. Hibrida silang ganda yang dihasilkan dari galur murni A, B, C, dan D dapat ditulis sebagai (A x B) x (C x D). Hibrida Lainnya Dua kombinasi persilangan yang lain adalah top cross dan multiple cross. Top cross adalah progeni hibrida yang dihasilkan melalui penyerbukan suatu galur murni dengan suatu populasi yang menghasilkan pollen yang tercampur secara genetik. Top cross pada awalnya dihasilkan melalui penyerbukan satu galur murni dengan varietas menyerbuk terbuka, dan kadang-kadang disebut persilangan galur murni - varietas (inbred-variety cross). Saat ini, silang tunggal lebih umum digunakan sebagai tetua jantan dalam top cross. Multiple cross dapat merupakan hasil dari kombinasi persilangan yang menggunakan lebih dari empat galur murni (Poehlman, 1983). 6 Daya Gabung Galur Murni Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung galur murni. Pada awalnya, daya gabung merupakan konsep umum untuk mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya (Hallauer dan Miranda, 1988). Daya gabung umum merupakan penampilan rata-rata galur murni dalam berbagai kombinasi hibrida, sedangkan daya gabung khusus menunjukkan penampilan galur murni dalam suatu kombinasi hibrida dibandingkan dengan kombinasi lainnya (Sprague dan Tatum, 1942). Daya gabung umum mengukur penampilan hibrida dari suatu genotipe (galur murni) dibandingkan dengan sampel acak atau genotipe yang banyak, sedangkan daya gabung khusus mengukur penampilan hibrida dari suatu genotipe (galur murni) dibandingkan dengan genotipe (galur murni) lainnya (Stoskopf et al., 1993). Daya gabung umum relatif lebih penting dari daya gabung khusus untuk galur-galur murni yang belum diseleksi. Sebaliknya, daya gabung khusus lebih penting dari daya gabung umum untuk galur-galur murni yang telah diseleksi sebelumnya terhadap peningkatan hasil (Sprague dan Tatum, 1942). Pengujian daya gabung dapat dilakukan dengan metode diallel cross, yakni evaluasi terhadap seluruh kombinasi hibrida silang tunggal dari sejumlah galur murni (Stoskopf et al., 1993). Evaluasi hibrida silang tunggal dilakukan dengan menggunakan hibrida komersial standar pada 4-6 lokasi atau lebih, dalam periode 2 tahun atau lebih (Griffing dalam Singh, 1987). Data hasil pengujian tersebut dapat menjadi dasar untuk memperkirakan hasil hibrida silang ganda dan silang tiga (Jenkins dalam Singh, 1987). Heterosis Pemuliaan tanaman menyerbuk silang seperti jagung didasari oleh adanya efek heterosis atau hibrid vigor (Mohr dan Schopfer, 1995). Heterosis dapat didefinisikan sebagai peningkatan ukuran atau vigor hibrida di atas rata-rata kedua tetuanya (Poehlman, 1983). Untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, 7 galur murni perlu dibentuk dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan (Singh, 1987). Keturunan hasil persilangan dua galur murni akan menampakkan peningkatan vigor melampaui galur-galur tetuanya. Akan tetapi, pada umumnya dari ribuan galur murni yang diuji hanya sedikit sekali yang menampakkan heterosis yang menguntungkan secara ekonomis (Allard, 1960). Heterosis dihasilkan dari pembawaan bersama gen-gen dominan yang baik. Berdasarkan teori ini, gen-gen yang mengendalikan vigor dan pertumbuhan adalah dominan, dan gen yang berbahaya terhadap individu adalah resesif. Gengen dominan yang berasal dari salah satu tetua dapat berkomplementasi dengan gen dominan yang berasal dari tetua lainnya, sehingga F1 akan memiliki kombinasi yang gen dominan yang lebih baik dibandingkan dengan tetuanya. Dalam produksi jagung hibrida, teori ini bekerja sebagai berikut: Diasumsikan bahwa gen dominan ABCDE mengendalikan hasil yang tinggi. Galur murni A memiliki genotipe AABBccddEE (ABE dominan). Inbred B memiliki genotipe aabbCCDDEE (CDE dominan). Genotipe galur murni A dan B, dan genotipe hibrida F1, adalah sebagai berikut: Galur murni A Galur murni B AABBccddEE x aabbCCDDEE Hibrida F1 AaBbCcDdEE Pada contoh ini, hibrida F1 memiliki gen dominan pada kelima lokus (ABCDE) dan akan memperlihatkan vigor yang lebih baik dibandingkan dengan tetua galur murninya yang hanya memiliki gen-gen dominan pada tiga lokus saja. Dalam teori yang menjelaskan tentang hibrid vigor ini, pertanyaan yang timbul adalah mengapa gen-gen dominan yang baik tidak dapat terkonsentrasi pada suatu galur murni dalam kondisi homozigot sehingga galur murni tersebut dapat sama produktifnya dengan galur tetuanya. Meskipun demikian, terlihat bahwa jumlah gen yang terlibat dalam suatu karakter kuantitatif seperti vigor adalah sangat 8 banyak sehingga sulit ditemukan pada keadaan homozigot pada individu tanaman. Selain itu, tanaman menyerbuk silang seperti jagung memiliki alel resesif yang tidak diinginkan. Dengan penyerbukan silang, efek gen resesif yang tidak diinginkan dapat tertutupi oleh keberadaan alel dominannya. Dengan penyerbukan sendiri, banyak gen-gen resesif yang tidak diinginkan menjadi homozigot dan mengakibatkan berkurangnya vigor galur murni. Keterpautan gengen resesif yang tidak diinginkan dengan gen-gen dominan menyebabkan penghalangan lebih jauh dan mengurangi peluang untuk menemukan galur-galur homozigot yang sama vigornya dengan galur-galur tetuanya. Teori lain menjelaskan heterosis berdasarkan heterozigositas lebih superior dibandingkan homozigositas, individu yang paling vigor memiliki jumlah alel heterozigot yang paling banyak. Teori ini didasarkan pada pendugaan adanya alel-alel yang kontras, contohnya a1 dan a2, untuk lokus tunggal. Setiap alel menghasilkan efek yang diinginkan, dan berbeda, pada tanaman. Pada tanaman heterozigot (a1a2), dihasilkan kombinasi efek yang lebih baik dibandingkan dengan efek yang dihasilkan oleh masing-masing alel. Fenomena bahwa heterozigot (a1a2) lebih superior dibandingkan homozigot (a2a2) dinamakan overdominan (Poehlman, 1983) Dalam prakteknya, fenomena heterosis terlihat pada hasil penelitian Saleh et al. (1994), yang menunjukkan bahwa suatu kombinasi hibrida single cross memiliki tingkat heterosis berdasarkan nilai tengah tetua sebesar 436%. Disamping itu, hasil penelitian Vasal dan Gonzales (1999) menjelaskan bahwa hibrida non-konvensional antar famili memiliki rataan nilai heterosis berdasarkan nilai tengah tetua untuk peubah hasil sebesar 47.9%, sedangkan pada hibrida topcross silang ganda sebesar 25.4%. 9 Penggunaan Mandul Jantan dalam Produksi Benih Hibrida Mandul Jantan Sitoplasmik (cms) Prosedur penggunaan sistem mandul jantan sitoplasmik dan pemulih kesuburan dalam produksi benih hibrida akan berbeda sesuai dengan tipe persilangan yang dilakukan. Untuk menyederhanakan, pada model-model berikut diasumsikan galur murni yang digunakan dalam pembentukan hibrida memiliki sitoplasma steril (cms) atau normal (n), dengan pemulih kesuburan oleh gen dominan Rf, yang memberikan pemulihan sempurna pada tanaman jagung cms. Pemeliharaan Galur Murni A-cms A-cms x A-n rfrf rfrf mandul jantan fertil jantan A-cms rfrf mandul jantan Galur murni mandul jantan, A-cms, dipelihara melalui penyerbukan dari galur murni A yang memiliki sitoplasma normal. Tidak ada galur murni yang memiliki gen pemulih dominan. Progeni akan mandul jantan karena sitoplasma diwariskan oleh tetua betina. Silang Tunggal, AxB A-cms x B-n (atau cms) rfrf RfRf mandul jantan fertil jantan AB-cms Rfrf fertil jantan 10 Galur murni yang menghasilkan benih, A-cms, bersifat mandul jantan. Galur murni yang menghasilkan pollen, B, dapat memiliki sitoplasma normal atau cms dan memiliki gen pemulih kesuburan (Rf). Silang tunggal, AB-cms, akan memiliki gen pemulih kesuburan yang heterozigot dan akan menghasilkan pollen normal. Silang Tunggal yang Dimodifikasi atau Silang Tiga A_-cms x A__-n rfrf rfrf mandul jantan fertil jantan A_A__-cms x B-n (atau cms) rfrf RfRf mandul jantan fertil jantan A_A__B-cms Rfrf fertil jantan Galur murni A_cms bersifat mandul jantan. Inbred A__ akan memiliki sitoplasma normal dan gen-gen yang tidak memulihkan. Silang tunggal A_A_ akan bersifat mandul jantan. Galur murni B dapat memiliki sitoplasma normal atau steril dan gen-gen pemulih dominan. Silang tunggal yang dimodifikasi, A_A__B, akan memiliki sitoplasma steril tetapi akan bersifat fertil jantan. Silang tiga dibuat dengan metode yang identik, kecuali galur murni B menggantikan A__ dan galur murni C menggantikan B pada diagram di atas. 11 Silang Ganda, (A x B) x (C x D) A-cms x B-n C-n x D-n (atau cms) rfrf rfrf rfrf RfRf mandul jantan fertil jantan fertil jantan fertil jantan AB-cms x CD-n (atau cms) rfrf Rfrf mandul jantan fertil jantan ABCD-cms 50% Rfrf (fertil jantan) 50% rfrf (mandul jantan) Hanya 50% tanaman silang ganda ABCD yang ditanam oleh petani akan bersifat fertil jantan, tetapi kondisi ini diperkirakan dapat menyediakan cukup pollen untuk pembuahan. Beberapa alternatif lain juga tersedia. Galur murni C atau D, atau keduanya, dapat membawa gen-gen pemulih kesuburan. Jika keduanya membawa gen-gen pemulih kesuburan, hibrida silang ganda akan 100% fertil jantan. Selain itu, galur murni C atau D, atau keduanya, boleh memiliki sitoplasma steril jika memiliki gen-gen pemulih kesuburan (Poehlman, 1983). Mandul Jantan Genetik Mandul jantan genetik pada jagung telah banyak dilaporkan. Percobaan untuk menggunakan mandul jantan genetik dalam produksi benih hibrida dihalangi oleh ketidakmampuan memelihara galur mandul jantan yang dapat digunakan sebagai tetua betina. Satu sistem yang telah digunakan didasarkan pada penggunaan kromosom yang dimodifikasi, yang dikenal sebagai duplicatedeficient, yang tidak diwariskan melalui pollen, untuk membuat stok msms murni. Sistem ini telah dipatenkan. Penggunaan sistem ini dalam produksi benih hibrida komersial memerlukan evaluasi tambahan (Poehlman, 1983). 12 Daftar Pustaka Agrawal, R.L. 1997. Identifying Characteristics of Crop Varieties. Science Publishers, Inc. New Hampsire. 124p. Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Willey and Sons. New York. 485p. CIMMYT. 1990. 1987/1998 CIMMYT world maize fact and trends. Maize seed industries, revisited. Emerging roles of public and private sectors. CIMMYT. Mexico. Hallauer, A. R. and J. B. Miranda. 1988. Quantitative Genetics in Maize Breeding. Second edition. Iowa State University Press. Iowa. Jones, J. S. and E. T. Bingham. 1995. Inbreeding depression in alfalfa and cross pollinated crops. p. 209-229. In: Janick, J. (ed). Plant Breeding Reviews. Volume 13. John Wiley & Sons, Inc. Mohr, H. and P. Schopfer. 1995. Plant Physiology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New York. 629p. Morris, M. 1995. Asia_s public and private maize seed industries changing. Asian Seed. 2 : 3-4. Pallival, S. and G. F. Sprague. 1981. Improving adaptation and yield dependability in maize in the developing world. CIMMYT. Mexico. Poehlman, J. M. 1983. Breeding Field Crops. Second ed. The Avi Publishing Company, Inc. Westport. 486p. Saleh, G., S. Sujiprihati, and T. C. Yap. 1994. Performance of maize hybrids from locally-developed inbred lines. Proceeding of the 1st National Congresss on Genetics, Malaysia. Genetics Society of Malaysia. p. 192- 195. Singh, J. 1987. Field Manual of Maize Breeding Procedures. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Sprague, G. F. and L. A. Tatum. 1942. General vs Specific Combining Ability in Single Cross of Corn. J. Am. Soc. Agron. 32:923-32. Sprague, G. F. and J.W. Dudley. 1988. Corn and Corn Improvement. Third edition. Crop. Sci. Soc. Am., Inc., Soil Sci. Soc. Am., Inc. Wisconsin. 968p. 13 Stoskopf, N. C., D. T. Tomes, and B. R. Christie. 1993. Plant Breeding : Theory and Practice. Westview Press. Colorado. 531p. Subandi, M. Dahlan, dan A. Rifin. 1998. Hasil dan strategi penelitian jagung, sorgum, dan terigu dalam pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. p. 347-357. Dalam: Inovasi Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Vasal, S. K. and F. Gonzales. 1999. Non-conventional maize hybrid and their seed production. Training Course on Hybrid Technology and Seed Production in Maize. Central Research Institute for Food Crops, Agency for Agricultural Research & Development, International Maize & Wheat Improvement Center. 16p. Wong, C. C. 1991. Inbreeding depression after three generations of selfing in five maize varieties. B. Agric. Sc. Project Report. Universiti Pertanian Malaysia. Malaysia.

No comments:

Post a Comment