Ingat Waktu !!

Monday, April 4, 2011

PENGENDALIAN HAMA ULAT JENGKAL PADA SENGON DENGAN EKSTRAK DAUN SUREN DAN CUKA KAYU

PENGENDALIAN HAMA ULAT JENGKAL PADA SENGON DENGAN EKSTRAK DAUN SUREN DAN CUKA KAYU ABSTRAK Penelitian serangan ulat jengkal terhadap sengon pada berbagai pola tanam agroforestry bertujuan untuk mendapatkan informasi intensitas serangan ulat jengkal dan tingkat kerusakan sengon yang ditimbulkannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa intensitas serangan ulat jengkal pada berbagai pola tanam agroforestry sebelum dan setelah penyemprotan ekstrak daun suren dan cuka kayu sebesar 95,94% dan 95,74%. Persentase tingkat kerusakan sebelum dan setelah penyemprotan larutan daun suren dan cuka kayu relatif tinggi yaitu 75,99% dan 74,59%. Pola tanam agroforestry sengon + jagung + ubi kayu + kacang tanah menunjukan derajat kerusakan sengon paling rendah yaitu 59,78% dan pola tanam agroforestry sengon + padi gogo + jagung menunjukan derajat kerusakan sengon paling tinggi yaitu 87,09%. Kata kunci : Agroforestry, intensitas serangan, sengon, ulat jengkal I. PENDAHULUAN Upaya untuk menanggulangi kerusakan hutan dan lahan kritis terus dikembangkan, salah satunya adalah melalui kegiatan hutan kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kelestarian fungsi hutan dan ekosistemnya. Kondisi ini mengharuskan untuk segera menerapkan konsep manajeman pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) agar dapat berfungsi kembali sebagai penyangga kehidupan. Salah satu konsep pengelolaan yang dapat dipilih adalah pengembangan model agroforestry berbasis parsisipasi masyarakat setempat yang didukung dengan pengembangan teknologi tepat guna. Menurut Heyne (1987) sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan salah satu tumbuhan yang dapat memperbaiki tanah, tiap tanaman yang dibudidayakan di bawahnya tumbuh dengan baik. Model agroforestry yang dilakukan adalah dengan pola tanam agroforestry dengan tanaman semusim yang berbeda akan memberikan pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sengon karena munculnya keragaman hama. Dalam pola tanam agroforestry seringkali tanaman semusim menjadi inang yang menyebabkan populasi hama meningkat, hal ini dapat menyebabkan tanaman tahunan ikut terserang hama. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama ditentukan oleh jumlah populasi dan keragaman jenis yang menyerang tanaman. Apabila populasi relatif kecil, maka kerusakan yang ditimbulkan secara ekonomis tidak berarti, sebaliknya apabila populasi terus meningkat maka akan menimbulkan kerusakan yang diperhitungkan secara ekonomis sangat berarti (Hardi dan Anggraini, 2004). Ulat jengkal merupakan salah satu hama yang berpotensi sebagai hama perusak daun walaupun belum dilaporkan menyerang tanaman sengon. Wana Benih Vol. 8 no. 1 Juli 2007 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 2 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Intensitas serangan ulat jengkal dan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya pada keempat model agroforestry plus DTA di Kadipaten Jawa Barat; (2) Pengaruh aplikasi ekstrak daun suren dan cuka kayu terhadap intensitas serangan ulat jengkal dan tingkat kerusakan tanaman yang ditimbulkan ulat jengkal. II. II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Lokasi penelitian dilakukan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Desa/Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 700 m dpl dengan rata-rata curah hujan per tahun 1800 mm, keadaan suhu rata-rata 240C dengan topografi berbukit/pegunungan. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan mulai November sampai dengan April 2007. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tanaman sengon yang berumur 6 bulan, dengan pola tanam campuran tanaman semusim (jagung, kacang tanah, padi gogo, ubi kayu), ekstrak daun suren dan cuka kayu mahoni. Peralatan yang digunakan terdiri dari parang, blender, timbangan, kertas saring, ember, gelas ukur, alat semprot, kamera digital, pinset dan alat tulis menulis. C. Metode Penelitian Pengamatan dilakukan terhadap tanaman sengon yang ditanam dengan empat pola tanam agroforestry, jarak tanam 3 m x 3 m dengan luas 0,13 ha per petak sebagai berikut : 1. Pola tanam A = sengon + jagung + ubi kayu + kacang tanah 2. Pola tanam B = sengon + jagung + padi gogo + kacang tanah 3. Pola tanam C = sengon + padi gogo + ubi kayu + jagung 4. Pola tanam D = sengon + padi gogo + jagung. Parameter yang diamati dalam setiap pola tanam adalah : 1. Intensitas serangan hama ulat jengkal Intensitas serangan hama ulat jengkal dihitung dengan rumus sebagai berikut : Σ daun terserang Intensitas serangan = x 100% Σ Seluruh daun tiap tanaman 2. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama. Tingkat kerusakan tanaman dapat diperoleh dari hasil pengamatan gejala secara visual pada setiap pohon dan menghitung populasi ulat kantong pada pohon tersebut. Tingkat kerusakan dihitung dengan rumus dan nilai sebagai berikut : Σ (ni x vj) I = x 100% Z x N Keterangan : I : Tingkat kerusakan ni : Jumlah tanaman yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi kerusakan tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah tanaman seluruhnya dalam satu petak contoh Wana Benih Vol. 8 no. 1 Juli 2007 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 3 Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat kerusakan Tanda kerusakan pada tanaman Nilai Sehat kerusakan daun ≤ 5% 0 Ringan kerusakan daun antara 5% - 25% 1 Agak Berat kerusakan daun antara 26% - 50% 2 Berat kerusakan daun antara 51% - 75% 3 Sangat Berat pohon gundul/ hampir gundul ≥ 75% 4 D. Analisis Data Hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan sidik ragam dan apabila ada perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut jarak Duncan terhadap F hitung ≥ F tabel 5% (Stell dan Torrie, 1995). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan 1. Jenis Hama Ulat Jengkal (Lepidoptera; Geometridae) a. Melionia basalis Larva berwarna kehitam-hitaman dengan garis warna putih kekuning-kuningan yang membujur sepanjang badan. Terdapat 3 pasang tungkai asli dan 1 tungkai palsu pada ruas ujung belakang. Panjang larva 35 mm - 40 mm dengan diameter 3 mm – 4 mm. Pupa berwarna merah merang sampai coklat tua dengan panjang 17 mm - 18 mm dengan diameter 5 mm. Imago berbentuk ngengat berwarna hitam dengan kilauan hijau biru yang jelas terlihat pada pangkal sayap, kepala dan dada/thoraks (Suratmo,1974). Siklus hidup sekitar 3,5 - 5 bulan. Gejala serangan dan kerusakan yang ditimbulkannya yaitu larva memakan sebagian daun atau seluruhnya sampai menghabiskan tulang daun dan pada serangan berat tanaman menjadi gundul. b. Hyposidra talaca Walker Imago berupa ngengat berwarna coklat abu-abu dan aktif pada malam hari, ngengat betina meletakkan telur pada permukaan batang/cabang pohon. Lama Stadium telur 5 - 6 hari. Lama stadium larva 12 - 18 hari, pupa berwarna coklat mengkilat berada di dalam tanah sedalam 2 cm - 5 cm, lama stadium pupa 1 - 8 hari. Perkembangan telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 24 - 32 hari. Larva mempunyai dua atau tiga pasang proleg pada ujung posterior tubuh. Panjang larva 35 mm – 40 mm dengan diameter 3 mm - 4 mm. Larva berjalan dengan meletakkan ujung posterior tubuh dekat tungkai-tungkai toraks dan kemudian menggerakkan ujung anterior tubuh, melangkah maju dalam satu cara seperti menukik. Apabila diganggu, larva berdiri hampir tegak di atas tungkai-tungkai posterior dan tetap tidak bergerak, menyerupai cabangcabang yang kecil. Larva berwarna hijau terang, memakan daun muda/tua hingga tinggal tulang daunnya (Borror dkk., 1996). Gejala serangan : Larva mulai menyerang sejak mulai menetas, terutama pada daun yang muda. Daun-daun nampak berlubang-lubang dan pada serangan yang berat tanaman menjadi gundul. Hal ini dapat mengganggu proses fotosintesa sehingga pertumbuhan tanaman terhambat. 2. Intensitas Serangan Ulat Jengkal Berdasarkan Tabel 2 intensitas serangan ulat jengkal terhadap sengon pada empat macam pola agroforestry menunjukan persentase yang berbeda, intensitas serangan ulat jengkal mulai pada pola tanam A, B, D dan C yaitu 91,67%, 94,87%, 97,22% dan 100%. Secara keseluruhan pada keempat pola tanam agroforestry menunjukan intensitas serangan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam agroforestry berpengaruh terhadap intensitas serangan ulat jengkal pada sengon. Dalam usaha pengendalihan hama ulat jengkal maka dilakukan penyemprotan dengan menggunakan ekstrak daun suren dan cuka kayu. Berdasarkan Tabel 2 intensitas serangan menurun rata-rata sebesar 0,19% pada keempat macam pola tanam setelah dilakukan penyemprotan ekstrak daun suren dengan dosis 200 gr/ltr air dan cuka kayu pada konsentrasi 3%. Rendahnya penurunan intensitas serangan ini menunjukan bahwa ekstrak daun suren dan cuka kayu kurang efektif digunakan untuk pengendalihan hama ulat jengkal. Wana Benih Vol. 8 no. 1 Juli 2007 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 4 Tabel 2. Intensitas serangan ulat jengkal sebelum dan sesudah penyemprotan ekstrak daun suren dan cuka kayu pada 4 macam pola tanam agroforestry. Intensitas Serangan (%) Pola agroforestry sebelum penyemprotan ekstrak daun suren + cuka kayu setelah penyemprotan ekstrak daun suren dan cuka kayu Δ Is A 91,67 91,67 0,00 B 94,87 94,44 0,43 C 100,00 100,00 0,00 D 97,22 96,88 0,35 Rata-rata 95,94 95,75 0,19 Hasil pengamatan terhadap tingkat kerusakan memperlihatkan bahwa tingkat kerusakan sengon yang diakibatkan oleh ulat jengkal pada keempat pola tanam agroforestry sebelum penyemprotan ekstrak daun suren dan cuka kayu relatif tinggi seperti disajikan pada tabel 4. Tingkat kerusakan diantara keempat pola tanam menunjukan pengaruh yang signifikan. Derajat kerusakan pola tanam D (87,09%) dan pola tanam C (84,09%) relatif lebih tinggi dibandingkan pada pola tanam lain, dan tingkat kerusakannya menimbulkan kerugian yang berarti. Tabel 3. Analisis varians tingkat kerusakan sengon pada keempat pola tanam agroforestry sebelum aplikasi daun suren dan cuka kayu . Sumber Variasi Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Hitung sig. Pola tanam agroforestry 3 12214,04 4071,35 6,43* 0,00 Galat 116 73480,53 633,45 Total 119 85694,57 Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 5%; ns tidak berbeda nyata pada taraf 5% Tabel 4. Uji Duncan derajat kerusakan sengon sebelum aplikasi ekstraks daun suren dan cuka kayu. Pola tanam agroforestry Rata-rata Uji Duncan A 59,78 a B 72,98 ab C 84,09 bc D 87,09 c Keterangan : huruf sama tidak menunjukkan perbedaan pada taraf uji 0,05 Tabel 5. Analisis varians tingkat kerusakan sengon pada keempat pola tanam agroforestry setelah aplikasi daun suren dan cuka kayu. Sumber Variasi Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Hitung Sig. Pola tanam agroforestry 3 12795,28 4265,09 6,26* 0,00 Galat 109 74242,35 681,12 Total 112 87037,63 Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 5%; ns tidak berbeda nyata. Tabel 6. Uji duncan derajat kerusakan sengon setelah aplikasi ekstraks daun suren dan cuka kayu. Pola tanam agroforestry Rata-rata Uji Duncan A 56,79 a B 73,45 b C 81,82 b D 86,28 b Keterangan : huruf sama tidak menunjukkan perbedaan pada taraf uji 0,05 Tingkat kerusakan sengon yang diakibatkan ulat jengkal setelah aplikasi daun suren dan cuka kayu pada keempat pola tanam agroforestry masih relatif tinggi seperti disajikan pada Tabel 6. Pengendalihan ulat Wana Benih Vol. 8 no. 1 Juli 2007 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 5 jengkal dengan menggunakan ekstrak daun suren dan cuka kayu belum menunjukkan hasil yang efektif, hal ini ditunjukkan rata-rata penurunan tingkat kerusakan pada keempat pola tanam agroforestry sebesar 1,4 % B. Pembahasan Dari hasil pengamatan di lapangan ditemukan 2 jenis ulat jengkal yang menyerang tanaman sengon yaitu M. basalis dan H. talaca. Ulat jengkal menyerang tanaman sengon dengan cara memakan daun muda maupun daun yang tua yang dimulai dari tepi daun. Serangan berat dapat menyebabkan tanaman menjadi gundul sehingga yang tertinggal hanya tulang-tulang daun. Pada intensitas serangan yang berat dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Gambar 1. Serangan ulat jengkal pada daun sengon Serangan yang terjadi secara terus menerus pada tanaman muda dapat melemahkan dan mematikan tanaman (Intari dan Ruswandi, 1989). Pada tahun 1951 dilaporkan serangan ulat jengkal terjadi di Sumatera Utara sampai menggunduli 75% dari hutan (Suratmo, 1974). Intensitas serangannya dapat mencapai 100% pada waktu serangannya terjadi menjelang musim hujan. Meningkatnya serangan hama pemakan daun dari waktu ke waktu ditentukan pula oleh kondisi ekosistem pada pola tanam agroforestry dan periode waktu aplikasi serta daya kerja pestisida nabati yang diaplikasikan. Pada keempat pola tanam agroforestry menunjukan rata-rata persentase serangan hama mencapai 95,94% dengan tingkat kerusakan per pohon yang cukup tinggi (74,59%). Pola tanam agroforestry yang mengkombinasikan tanaman tahunan (sengon) dengan tanaman semusim (padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu) menghasilkan interakasi negatif di mana tanaman pencampur dapat menjadi inang bagi perkembangan hama ulat kantong. Pola tanam agroforestry sengon + jagung + ubi kayu + kacang tanah menunjukan derajat kerusakan sengon paling rendah yaitu 59,78% dan pola tanam agroforestry sengon + padi gogo + jagung menunjukkan derajat kerusakan sengon paling tinggi yaitu 87,09%. Hal ini disebabkan oleh jarak tanam yang rapat untuk tanaman sengon yaitu 3 m x 3 m dan tanaman semusim (1) kacang tanah 15 cm x 15 cm; (2) jagung 50 cm x 50 cm; (4) ubi kayu 1 m x 1 m; (5) padi 25 cm x 25 cm. Daerah tangkapan air adalah merupakan areal yang kondisi tanahnya cenderung lembab, sehingga kondisi lingkungan sesuai untuk perkembangan hama ulat jengkal. Gambar 2. Pola tanam agroforestry sengon dengan tanaman semusim. Wana Benih Vol. 8 no. 1 Juli 2007 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 6 Aplikasi penyemprotan ekstrak daun suren dengan bahan aktif surenon, surenin, surenolakton dan cuka kayu yang mengandung asam, fenol dan turunan fenol yang disemprotkan pada sengon untuk yang pertama belum menunjukan hasil efektif dengan penurunan intensitas serangan dan derajat kerusakan rata-rata 0,19% dan 1,4%. Hal ini disebabkan adanya tanaman semusim yang merupakan inang ulat jengkal seperti kacang tanah dan jagung yang ditanam dengan pola campuran, serta memberi peluang bagi ulat jengkal untuk menyerang tanaman sengon. Disamping itu juga tanaman semusim menjadi tempat bagi perkembangan ulat jengkal, sehingga populasinya tetap hidup dalam pola tanam agroforestry plus yang secara sporadis dapat menyerang tanaman sengon kembali. Seperti diketahui bahwa ulat jengkal termasuk hama yang polifag yaitu hama yang mempunyai inang lebih dari satu tanaman. IV. KESIMPULAN 1. Intensitas serangan ulat jengkal pada keempat model agroforestry plus sebelum dan setelah penyemprotan ekstrak daun suren dan cuka kayu sebesar 95,94% dan 95,74%, dengan tingkat kerusakan relatif tinggi yaitu 75,99% dan 74,59% 2. Pola tanam agroforestry sengon + jagung + ubi kayu + kacang tanah menunjukkan derajat kerusakan sengon paling rendah yaitu 59,78% dan pola tanam agroforestry sengon + padi gogo + jagung menunjukkan derajat kerusakan sengon paling tinggi yaitu 87,09%. DAFTAR PUSTAKA Borror, D. J. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga (Terjemahan) Edisi Keenam Gadjah Mada University Press.(798-801). Yogyakarta. Hardi T.W dan Illa Anggraini. 2004. Hama dan Penyakit pada Tanaman Jati dan Kayu Putih. Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian. Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. P3BPTH Yogyakarta. Heyne, T 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. (Terjemahan) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan Intari, SE. dan Ruswandi, H. 1986. Teknik Pengenalan Beberapa Hama di Pesemaian, Tanaman Muda dan Tua pada Hutan Tanaman Industri. Info Teknis No. 48/1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. (5) Steel, R.G.D. dan J.H.Torrie.1995. Prinsip dan Prosedur Statistik, Suatu Pendekatan Biometrik. (Terjemahan). PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suratmo, F.G. 1974. Hama Hutan di Indonesia. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. IPB Bogor.

No comments:

Post a Comment